MK : Kewarganegaraan
Hari: Senin Dan Sabtu
Part : 6
Hari: Senin Dan Sabtu
Part : 6
Konstitusi Negara Indonesia
Pengertian
Konstitusi
Di dalam ilmu Negara dan hukum tata Negara, konstitusi
diberi arti yang berubah-ubah sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut.
Pertama, pengertian konstitusi pada masa pemerintahan-pemerintahan kuno
(ancient regime). Kedua, pengertian yang baru yaitu pengertian konstitusi
menurut tafsiran modern yakni sejak lahirnya dokumen konstutusi yang pertama di
dunia yang dikenal dengan nama Virginia Bill of Right (1776).
Konstitusi
dalam pengertian pertama diartikan sebagai nama bagi ketentuan-ketentuan yang
menyebut hak-hak dan kekuasaan dari orang-orang tertentu, keluarga-keluarga
tertentu yang berkuasa atau suatu badan-badan tertentu. Sebagai contoh di
mas-masa pemerintahan kerajaan absolut, konstitusi diartikan sebagai “
kekuasaan perorangan yang tak terbatas dari sang raja”.
Sedangkan konstitusi dalam pengertian kedua,
menurut Sovernin Lohman, meliputi tiga unsur, yaitu:
1.Konstitusi
dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak social), artinya
konstitusi merupakan hasil atau kongklusi dari kesepakatan masyarakat untuk
membina Negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka;
2.Konstitusi sebagai piagam yang
menjamin hak-hak asasi manusia dan warga Negara sekaligus penentuan batas-batas
hak dan kewajiban warga Negara dan alat-alat pemerintahannya;
3. Konstitusi sebagai forma regimenis
yaitu kerangka bangunan pemerintahan.
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”,
berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang
dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal
(permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda
menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi
dasar dari segala hukum.
Konstitusi pada umumnya bersifat kondifaksi yaitu
sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi
pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan dalam
artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). Namun menurut para ahli
ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk
kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan
distibusi maupun alokasi. Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental)
yang menopang berdirinya suatu negara.
Tujuan pembentutkan konstitusi
Di dalam negara-negara yang
mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusionil, undang-undang dasar
mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa
sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan
demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindung. Gagasan ini
dinamakan konstitusionalisme.
Cara pembatasan yang dianggap paling efektif ialah
dengan jalan membagi kekuasaan. Kata Carl J. Friedrich: “dengan jalan membagi kekuasaan,
konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistim pembatasaan yang efektif atas
tindakan-tindakan pemerintah” (Constitutionalism by dividing power providesa
system of effective restraints upon governmental action). Pembatasan-pembatasan
ini tercermin dalam undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khusus dan
merupakan perwujudan atau menifestasi dari hukum yang tertinggi yang harus
ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi pemerintah serta penguasa sekalipun.
Gagasan konstitusionalisme telah timbul lebih dahulu
dari pada konstitusi itu sendiri. Konstitusionalisme dalam arti penguasa perlu
dibatasi kekuasaannya dan kerena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas,
telah timbul di Abad pertengahan (Midle Ages) Eropa. Pada tahun 1215, raja John
dari Inggris dipaksa oleh beberapa bangsawan untuk mengakui beberapa hak
mereka, yang kemudian ducantumkan dalam magna Charta (Piagam Besar).
Dalam Charter of English Liberties ini raja John menjamin bahwa
pemungutan pajak tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan,
dan bahkan tidak akan diadakan penangkapan tanpa peradilan. Meskipun belum
sempurna, Magna Charta di dunia Barat dipandang sebagai permulaan dari gagasan
dari konstitusionalisme serta pengakuan terhadap kebebasan dan kemerdekaan
rakyat.
Menurut Miriam Budiarjo, setidaknya setiap konstitusi
memuat lima ketentuan (atau ciri-ciri). Adapun kelima ketentuan tersebut
adalah:
1. Organisasi negara, misalnya
pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; dalam
negara federal, pembagian kekuasaan antar pemerintah negara-bagian; prosedur
menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah
dan sebagainya.
2. Hak-hak asasi manusia (biasanya
disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah tersendiri);
3. Prosedur mengubah undang-undang
dasar;
4. Adakalanya memuat larangan untuk
mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar. Hal ini biasanya terdapat
jika para penyusun undang-undang dasar ingin menghindari terulangnya kembali
hal-hal yang baru daja teratasi, seperti misalnya munculnya seorang diktator
atau kembalinya suatu monarki. Misalnya undang-undang dasar jerman melarang
untuk mengubah sifat federalisme dari undang-undang dasar, oleh karena
dikawatirkan bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya
kembali seorang diktator seperti Hitler.
Terdapat dua
jenis kontitusi, yaitu konstitusi tertulis (Written Constitution) dan
konstitusi tidak tertulis (Unwritten Constitution). Ini diartikan seperti
halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan
“Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan
Pentingnya Konstitusi
Dalam Negara
Konsekuensi
logis dari kenyataan bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk,
maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan
ketatanegaraan suatu negara. Negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam
disertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau Undang-undang
Dasar adalah sebagai pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana
kekuasaan negara harus dijalankan.
Sejalan
dengan pemahaman di atas, Struycken dalam bukunya Net Staatsrecht van Het
Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa konstitusi merupakan barometer
kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah perjuangan
para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding
father, serta memberi arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan
suatu negara yang akan dipimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini tercover
dalam konstitusi, sehingga benarlah kalau konstitusi merupakan cabang yang
utama dalam studi ilmu hukum tata negara.
Pada sisi lain, eksistensi suatu ”negara” yang diisyaratkan oleh A. G. Pringgodigdo, baru riel ada kalau telah memenuhi empat unsur, yaitu:
Pada sisi lain, eksistensi suatu ”negara” yang diisyaratkan oleh A. G. Pringgodigdo, baru riel ada kalau telah memenuhi empat unsur, yaitu:
Ø Memenuhi unsur pemerintahan yang
berdaulat,
Ø Wilayah Tertentu
Ø Rakyat yang hidup teratur sebagai
suatu bangsa (nation), dan
Ø Pengakuan dari negara-negara lain.
Dari keempat unsur untuk berdirinya suatu negara ini
belumlah cukup menjamin terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa kalau
belum ada hukum dasar yang mengaturnya. Hukum dasar yang dimaksud adalah sebuah
konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Prof. Mr.
Djokosutono melihat pentingnya konstitusi dari dua segi. Pertama, dari segi
sisi (naar de Inhoud) karena konstitusi memuat dasar dari struktur dan memuat
fungsi negara. Kedua, dari segi bentuk (Naar de Maker) oleh karena yang memuat
konstitusi bukan sembarangan orang atau lembaga. Mungkin bisa dilakukan oleh
raja, raja dengan rakyatnya, badan konstituante atau lembaga diktator.
Pada sudut
pandang yang kedua ini, K. C. Wheare menggkaitkan pentingnya konstitusi dengan
peraturan hukum dalam arti sempit, dimana konstitusi dibuat oleh badan yang
mempunyai ”wewenang hukum” yaitu sebuah badan yang diakui sah untuk memberikan
kekuatan hukum pada konstitusi.
KONSTITUSI
DI INDONESIA
1. Negara Indonesia adalah Negara Hukum
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum bukan
berdasarkan atas kekuasaan belaka terbukti bahwa pemerintahan dan lembaga-
lembaga lainnya dalam melaksanakan tidakan- tindakan apa pun harus dilandasi
oleh peraturan hukum atau dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Disamping
akan tampak dalam rumusannya dalam pasal- pasalnya, juga akan menjalankan
pelaksanaan dari pokok- pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945
yang diwujudkan oleh cita- cita hukum dan hukum dasar yang tertulis dengan
landasan negara hukum, setiap tindakan Negara haruslah
mempertimbangkan dua kepentingan yaitu kegunaannya dan hukumnya,
agar senantiasa setiap tindakan Negara selalu memenuhi dua kepentingan
tersebut.
Hukum Dasar Tertulis dan tidak
Tertulis
a. Hukum
Dasar Tertulis
Dasar hukum tertulis adalah Undang- undang
Dasar yang menurut sifat dang fungsinya adalah suatu naskah yang memaparkan
kerangka dan tugas- tugas pokok cara kerja badan- badan tersebut. Undang-
undang Dasar bersifat singkat dan supel. Undang- undang Dasar 1945 hanya
memiliki 37 pasal, adapun pasal- pasalnya hanya memuat aturan peralihan dan
aturan tambahan. Hal ini mengandung makna:
1. Telah cukup jika undang- undang
dasar hanya memuat aturan- aturan pokok.
2. Sifatnya yang supel.
3. Memuat aturan- aturan, norma- norma
serta ketentuan- ketentuan yang harus dilaksanakan
secara konstitusional
4. Undang- undang Dasar 1945 merupakan
peraturan hukum positif tertinggi
b.
Hukum Dasar yang tidak Tertulis
Aturan- aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis. Hukum dasar tidak tertulis
mempunyai sifat- sifat, yaitu:
1. Merupakan kebiasaan berulang kali
dalam penyelenggaraan Negara.
2. Tidak bertentangan dengan undang-
undang dasar dan berjalan sejajar.
3. Diterima oleh seluruh rakyat.
4. Bersifat sebagai pelengkap.
2. Sistem Pemerintahan Negara menurut
UUD 1945 hasil Amandemen 2002
Sistem pemerintahan di Indonesia sebelum dilakukan
amandemen dijelaskan secara terperinci dan sistematis dalam undang- undang
dasar 1945. Sistem pemerintahan Negara Indonesia ini dibagi atas tujuh yang
secara sistematis merupakan pertanggung jawaban kedaulatan rakyat oleh karena
itu sistem Negara ini dikenal dengan tujuh kunci pokok system pemerintahan,
walaupun tujuh kunci pokok menurut penjelasan tidak lagi merupakan dasar
yudiris, namun mengalami perubahan.Penjelasan UUD 1945 yang memuat 7
buah kunci pokok, yaitu :
a) Indonesia adalah negara yang
berdasar atas hukum (rechstaat)
Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas
hukum dan bukan kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa negara dalam
melaksanakan tindakan apapun harus selalu dilandasi oleh hukum atau segala
tindakannya harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Negara hukum
yang dimaksud oleh UUD 1945 bukanlah negara hukum dalam arti formal (sebagai
polisi lalu lintas atau penjaga malam) tetapi negara hukum dalam arti material
(dalam arti luas) yaitu negara tidak hanya melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia tetapi juga harus memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.Sistem Konstitusional
b) Pemerintah berdasar atas sistem
konstitusi (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
tak terbatas).
Sistem ini menegaskan bahwa
pemerintahan negara dibatasi oleh konsitusi dan otomatis dibatasi juga
oleh ketentuan hukum yang merupakan produk konstitusional lainnya seperti GBHN,
UU dll.
Sistem ini juga memperkuat dan menegaskan
sistem negara hukum.
Berdasarkan
kedua sistem ini diharapkan dapat tercapai mekanisme hubungan tugas dan hukum
antara lembaga-lembaga negara yang dapat menjamin terlaksananya sistem itu
sendiri.
c) Kekuasaan negara yang
tertinggi berada di tangan MPR
Kedaulatan
rakyat dipegang oleh MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai
pemegang kekuasaan yang tertinggi, MPR mempunyai tugas dan wewenang, yaitu :
Ø Menetapkan UUD dan GBHN.
Ø Memilih dan mengangkat Presiden dan
Wapres.
Majelis mengangkat dan melantik Kepala
Negara dan Wakil Kepala Negara, oleh karena itu Kepala Negara dan Wakil
Kepala Negara harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
d) Presiden adalah penyelenggaran
pemerintahan negara yang tertinggi di bawah Majelis.
Presiden adalah penyelenggara pemerintahan
tertinggi di bawah MPR. Dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan tanggung
jawab ada pada Presiden (concentration of power and responsibility upon
the President).
e) Presiden tidak bertanggung jawab
kepada DPR
Presiden harus bekerja sama dengan DPR
tetapi Presiden tidak bertanggun jawab kepada DPR,artinya kedudukan Presiden
tidak tergantung dari DPR.
Presiden
harus mendapat persetujuan dari DPR untuk membentuk UU serta menetapkan APBN.Presiden
tidak dapat membubarkan DPR dan DPRpun tidak dapat menjatuhkan presiden.
f) Menteri Negara adalah pembantu
Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
Kedudukan menteri tidak tergantung pada DPR
tetapi pada Presiden. Pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan wewenang
sepenuhnya Presiden (Pasal 17 ayat 2).
Menteri
bertanggung jawab kepada Presiden.
Dengan
petunjuk dan persetujuan Presiden, menteri-menterilah yang sebenarnya
menjalankan pemerintahan di bidangnya masing-masing.
Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Kepala
negara bukanlah dikatator karena ia harus mempertanggungjawabkan tindakannya
kepada MPR.
Sejarah Lahirnya Konstitusi Di Indonesia
Dalam sejarahnya, Undang-Undang
Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai dalam bahasa Jepang yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir.Soekarno
dan Drs.Moh.Hatta sebagai wakil dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11
orang wakil dari Jawa,3 orang dari Sumatra, dan masing-masing 1 wakil dari
Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. BPUPKI ditetapkan berdasarkan Maklumat
Gunseikan Nomor 23 bersamaan dengan ultah Tenno Heika pada tanggal 29 April
1945.
BPUPKI
menentukan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka
yang dikenal dengan nama UUD 1945. tokoh-tokoh perumusnya antara lain Dr.Rajman
Widiodiningrat, Ki Bagus Hadi Koesemo, Oto Iskandardinata, Pangeran purboyo,
Pangeran Soerjohamindjojo dan lain-lain.
UUD 1945
dibentuk untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di kemudian hari.
Setelah kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya
tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan sehingga lengkaplah
Indonesia menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945
atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa
keputusan sebagai berikut :
Ø Menetapkan dan mengesahkan pembukaan
UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan Undang – Undang yang disusun oleh
panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
Ø menetapkan dan mengesahkan UUD 1945
yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh panitia
perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
Ø memilih ketua persiapan Kemerdekaan
Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta
sebagai wakil presiden.
Ø pekerjaan presiden untuk sementara
waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(Komite Nasional).
Dengan
terpilihnya atas dasar UUD 1945 ,maka secara formal Indonesia sempurna menjadi
sebuah Negara, sebab syarat – syarat yang lazim diperlukan oleh setiap Negara
telah ada, yaitu adanya :
1. Rakyat .
2. Wilayah.
3. Kedaulatan.
4. Pemerintahan
5. Tujuan Negara.
6. Bentuk Negara
Konstitusi sebagai satu kerangka
kehidupan politik telah lama dikenal yaitu sejak zaman yunani yang memiliki
beberapa kumpulan hokum (semacam kitab hokum pada 624 – 404 SM) sehingga,
sebagai Negara hokum Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal sebagai UUD
1945 yang telah dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juli 1945 oleh badan
penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKU) yang mana tugas
pokok badan ini sebenarnya menyusun rancangan UUD. Namun dalam praktik
persidangannya berjalan berkepanjangan khususnya pada saat membahas masalah
dasar Negara.diakhir siding I BPUPKIberhasil membentuk panitia kecil yang disebut
panitia sembilang, panitia ini pada tanggal 22 juni 1945 berhasil mencapai
kompromi untuk menyetujui sebuah naskah mukhodimah UUD yang kemudian diterima
dalam siding II BPUPKI tanggal 11 Julu 1945. Setelah itu Ir. Soekarno membentuk
panitia kecil pada tanggal 16 juli 1945 yang diketuai oleh Soepomo dengan tugas
menyusun rancangan UUD dan membentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang beranggotakan 21 orang. Sehingga UUD atau konstitusi Negara
republic Indonesia diatukan ditetapkan oleh PPKI pada hari sabtu tanggal 18
Agustus 1945. Dengan demikian sejak itu Indonesia telah menjadi suatu Negara
modern karena telah memiliki suatu system ketatanegaraan yaitu dalam UUD 1945.
Dalam perjalanan sejarah, konstitusi
Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian baik nama maupun subtansi
materi yang dikandungnya, yaitu :
1) UUD 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945
sampai 27 Desember 1949.
2) Konstitusi republic Indonesia serikat yang lazim dikenal dengan sebutan
konstitusi RIS (17 Desember 1949 – 17 Agustus 1950).
3) UUD 1950 (17 Agustus 1950 – 05 Juli 1959).
4) UUD 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama
Indonesia dengan masa berlakunya sejak
dekrit presiden 05 Juli 1959 – Sekarang.
Perkembangan
dan perubahan konstitusi di Indonesia
Konstitusi sebagai
hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara dapat
berupa konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Dalam hal konstitusi
terstulis, hampir semua negara di dunia memilikinya yang lajim disebut
undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan,
pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta
perlindungan hak azasi manusia. Negara yang dikategorikan sebagai negara yang
tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara
ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi
manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen,
baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna
Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia
rakyat Inggris.Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai
dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris
masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Adanya negara yang
dikenal sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi
tertulis, nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dalam praktek
penyelenggaraan negara juga diakui sebagai hukum dasar, dan tercakup pula dalam
pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu, Undang-Undang Dasar
sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak
tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek
penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian konstitusi
atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu Negara.
Dalam perkembangan
sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang
sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang
seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian
tentang konstitusi semakin penting dalam negara-negara modern saat ini yang
pada umumnya menyatakan diri sebagai negara konstitusional, baik demokrasi
konstitusional maupun monarki konstitusional. Dengan meneliti dan mengkaji
konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan
penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan
nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Suatu konstitusi
tertulis, sebagaimana halnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), nilai-nilai
dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta praktek penyelenggaraan
negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang
Dasar. Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar
belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis suatu
ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat
mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang
Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh
mengerti, kita harus memahami konteks filosois, sosio-historis sosio-politis,
sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Di
samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi
kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of
reference) dan medan pengalaman (ield of experience) dengan muatan kepentingan
yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang
Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Karena itu,
penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada
masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak
menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.
Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar,
diperlukan pula adanya Pokok-Pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap
perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara langsung
atau tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Perubahan UUD 1945
merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang
berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian
Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem
hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai
hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan
ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 .
Gagasan perubahan UUD
1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden
membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya
terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut
menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan
mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan
UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di
MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:
- Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
- Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;.
- Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
- Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
- Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap
dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga
perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan
kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian
secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No.
I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua
pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada
tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah
mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan
sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945
telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama
sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan
Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara
tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan
Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut
sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan
romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau
menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh
ide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9
pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15,
Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan
Pasal 21. Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut
seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir
ketentuan dasar.
Gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam
Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua
yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah
Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal
yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII
tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang
Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XII tentang
Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat
atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan
yang mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama
sekali.
Setelah itu, agenda
perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil
menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.
Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini
adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V
tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB
tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari
segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas
cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian
besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan
cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu,
selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya,
juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat
dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan yang
terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai
tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun
2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus
2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang
dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan
perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959
oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat
“Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis
permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3
ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya
ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau
penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat
(2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara keseluruhan
naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang
dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir
ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari
naskah UUD. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam
rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu
benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika
UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal
II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya
perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian,
jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang
selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi
diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan
dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah
tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat
naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam
Penjelasan UUD 1945 tersebut.
Pertanyaan :
1. Jelaskan mengapa konstitusi sangat
pengting bagi suatu negara
2. Jelaskan Maksud dari negara Indonesia
berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka
Daftar
Pustaka
Thaib, Dahlan,et.al., Teori dan Hukum Konstitusi,
Jakarta: PT> Raja Grafindo Persada, 2001, cet.ke-2.
Ubaidillah, Ahmad, et.al., Pendidikan Kewargaan (Civic
Education): Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press,
2000, edisi pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar